JAKARTA - Keputusan Menteri ESDM Nomor 391 Tahun 2025 menarik perhatian publik tidak hanya karena substansinya, tetapi juga due to disparitas besar dalam besaran denda antar komoditas. Nikel dikenakan denda administratif mencapai Rp6.502.000.000 per hektare, angka yang jauh lebih tinggi dibandingkan bauksit (Rp1,76 miliar), timah (Rp1,25 miliar), dan batubara (Rp354 juta). Perbedaan signifikan ini mengundang pertanyaan tentang logika dan tujuan penetapan kebijakan.
Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung menjelaskan bahwa besaran denda didasarkan pada perhitungan internal kementerian yang mempertimbangkan kewajiban badan usaha. Besaran tersebut kemungkinan besar memperhitungkan beberapa faktor kunci, seperti nilai ekonomi komoditas di pasar global, intensitas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan, dan nilai strategis komoditas bagi perekonomian nasional. Nikel, sebagai tulang punggung industri baterai kendaraan listrik dan stainless steel, memiliki valuasi ekonomi yang sangat tinggi.
Tingginya denda untuk nikel juga dapat ditafsirkan sebagai bentuk pengendalian oleh pemerintah terhadap laju eksploitasi komoditas ini. Dalam beberapa tahun terakhir, permintaan global yang melonjak telah memicu ekspansi tambang nikel secara masif, seringkali mengabaikan aspek tata ruang dan lingkungan. Dengan menetapkan denda yang sangat mahal, pemerintah berharap dapat menciptakan efek jera yang kuat dan mengarahkan industri ke jalur yang lebih terkendali dan sesuai aturan.
Baca Juga: Tuntutan Pidana Mengintai Perusahaan Tambang & Sawit Pemicu Banjir Bandang Sumut
Di sisi lain, besaran denda untuk batubara yang relatif lebih rendah mungkin mencerminkan perbedaan karakteristik komoditas dan pasar. Harga batubara yang fluktuatif dan tren global yang bergeser dari energi fosil bisa menjadi pertimbangan. Namun, tetap penting diingat bahwa denda Rp354 juta per hektare tetaplah nilai yang sangat besar dan dimaksudkan untuk memberikan sanksi yang berarti.
Kebijakan ini juga secara tidak langsung mengenalkan prinsip "polluter pays" atau pencemar membayar, di mana biaya kerusakan lingkungan diinternalisasikan ke dalam biaya operasi perusahaan. Dengan formula denda per hektare, semakin luas kerusakan yang ditimbulkan di kawasan hutan, semakin besar pula beban finansial yang harus ditanggung perusahaan.
Penerapan denda berstratifikasi seperti ini diharapkan dapat mendorong efisiensi dan inovasi dalam pengelolaan lahan tambang. Perusahaan akan terdorong untuk meminimalisir footprint lahan yang digunakan dan menghindari perluasan ke area hutan yang tidak diizinkan, karena konsekuensi finansialnya sangat berat. Hal ini pada akhirnya dapat mendorong praktik pertambangan yang lebih intensif dan kurang ekstensif.
Dari perspektif penerimaan negara, denda administratif ini menjadi sumber PNBP baru yang potensial, meski di satu sisi diharapkan tidak ada satupun perusahaan yang membayarnya karena patuh aturan. Aliran dana dari sanksi ini dapat dialokasikan kembali untuk program rehabilitasi hutan dan pengawasan sektor pertambangan, menciptakan siklus yang berkelanjutan.
Dengan demikian, besaran denda yang berbeda bukanlah kebijakan yang diskriminatif, melainkan instrumen kebijakan yang cermat. Pemerintah berusaha menggunakan alat ekonomi untuk mengarahkan perilaku industri, melindungi aset lingkungan yang kritis, dan sekaligus mengamankan kepentingan fiskal negara, semua dalam satu paket kebijakan yang terpadu.