Jakarta - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersiap untuk mengambil langkah hukum yang belum pernah terjadi sebelumnya pasca bencana banjir bandang di Sumatera Utara. Menteri LHK Hanif Faisol Nurofiq menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan, termasuk perkebunan sawit milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang ditemukan berkontribusi memperparah dampak banjir melalui aktivitasnya di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS), akan dimintai pertanggungjawaban secara hukum. Konsekuensinya sangat serius, mencakup pembiayaan pemulihan lingkungan, pembayaran denda, dan yang terberat: tuntutan pidana terkait dengan korban jiwa yang jatuh dalam bencana tersebut.
Langkah hukum ini dilandasi oleh temuan audit lingkungan yang dilakukan secara menyeluruh oleh tim KLHK. Audit mengungkap bahwa aktivitas seperti tambang emas, perkebunan sawit skala besar, dan pembangunan infrastruktur seperti PLTA di daerah hulu telah mengubah tutupan lahan dan mengurangi daya serap tanah. Perubahan ini secara langsung memperburuk run-off (aliran permukaan) saat curah hujan ekstrem akibat siklon tropis Senyar melanda, yang akhirnya memicu banjir bandang yang menghancurkan. Perusahaan-perusahaan ini dianggap lalai dalam mematuhi peraturan lingkungan atau melampaui ambang batas yang diizinkan dalam analisis dampak lingkungannya.
Proses yang sedang berjalan saat ini adalah review ulang terhadap semua dokumen perizinan dan lingkungan perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayah DAS yang terdampak. KLHK akan menganalisis sejauh mana kontribusi masing-masing entitas bisnis terhadap akumulasi kerusakan lingkungan yang berujung pada bencana. Analisis ini akan menjadi barang bukti utama dalam proses hukum berikutnya, baik di ranah administratif, perdata, maupun pidana.
Tuntutan pidana lingkungan merupakan ancaman terbesar yang dihadapi perusahaan-perusahaan tersebut. Pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur sanksi pidana bagi pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan yang mengakibatkan korban jiwa. Jika dapat dibuktikan bahwa kelalaian atau kesengajaan perusahaan dalam mengelola lingkungan berkaitan langsung dengan hilangnya nyawa, maka para direksi dan penanggung jawab perusahaan dapat berhadapan dengan hukuman penjara.
Selain aspek pidana, perusahaan juga akan dibebani kewajiban perdata yang sangat besar, yaitu membiayai seluruh proses pemulihan ekosistem DAS yang rusak. Biaya ini tidak hanya mencakup penanaman pohon, tetapi juga restorasi tanah, stabilisasi lereng, dan berbagai upaya teknis lainnya yang membutuhkan anggaran tidak sedikit. Ditambah lagi dengan denda administratif yang akan ditetapkan oleh KLHK atas pelanggaran yang dilakukan.
Langkah tegas ini mengirimkan sinyal kuat kepada seluruh pelaku usaha di Indonesia, bahwa era dimana perusahaan dapat beroperasi dengan mengabaikan daya dukung lingkungan tanpa konsekuensi hukum yang berat telah berakhir. Pemerintah menunjukkan komitmen untuk menempatkan keselamatan warga dan keberlanjutan ekosistem di atas keuntungan ekonomi semata. Hal ini diharapkan dapat menimbulkan efek jera dan mendorong praktik bisnis yang lebih bertanggung jawab.
Keberhasilan penegakan hukum ini akan sangat bergantung pada kekuatan bukti teknis dari audit lingkungan dan koordinasi dengan aparat penegak hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan. Masyarakat dan lembaga swadaya lingkungan diharapkan dapat turut mengawal proses ini agar transparan dan adil. Jika berhasil, kasus Sumatera Utara ini dapat menjadi preseden penting dalam sejarah penegakan hukum lingkungan di Indonesia, sekaligus momentum perbaikan tata kelola sumber daya alam yang lebih berkeadilan.