Pembangunan infrastruktur menjadi salah satu prioritas utama pemerintah. Dalam sepuluh tahun terakhir, Indonesia telah berhasil membangun 366.000 kilometer jalan desa, 1,9 juta meter jembatan desa, 2.700 kilometer jalan tol baru, 6.000 kilometer jalan nasional, 50 pelabuhan dan bandara baru, serta 43 bendungan baru, dan 1,1 juta hektare jaringan irigasi baru. Pernyataan ini merupakan kutipan dari pidato Presiden ketujuh Joko Widodo dalam Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI di Gedung Nusantara pada 16 Agustus 2024, dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun ke-79 Kemerdekaan Republik Indonesia. Selama sepuluh tahun pemerintahan Jokowi, pembangunan infrastruktur dilakukan secara masif. Ratusan Proyek Strategis Nasional (PSN) tersebar di seluruh Indonesia. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto melaporkan bahwa Proyek Strategis Nasional (PSN) pada era Jokowi telah mencapai 233 dengan total nilai investasi mencapai Rp 6.246 triliun (Kompas, 19/7/2024). Saya berpendapat bahwa ketika negara melaksanakan pembangunan infrastruktur secara masif tanpa sembarangan, hal ini akan sejalan dengan potensi kemajuan ekonomi nasional dan tentunya berhubungan langsung dengan pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah. Meskipun demikian, semangat kita terhadap kemajuan ekonomi sedikit teredam oleh kenyataan yang menyedihkan. Kebocoran informasi dari Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, sebelumnya mengungkapkan adanya indikasi korupsi dalam proyek infrastruktur. Sebanyak 36,67 persen dari anggaran proyek PSN diduga masuk ke dalam kantong pribadi. Data dari PPATK ini sangat mengkhawatirkan dan menjadi ironi pahit dalam kondisi pembangunan infrastruktur. Bayangkan, hampir setengah dari anggaran PSN justru mengalir ke kantong mereka yang seharusnya berperan sebagai “penyelenggara layanan publik”. Pertanyaannya adalah: mengapa tidak ada tindakan nyata dari Aparat Penegak Hukum (APH) terkait temuan ini? Bukankah temuan dari PPATK seharusnya menjadi titik terang untuk memulai penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi? Dalam berbagai forum ilmiah dan akademik, dinyatakan bahwa perencanaan harus dilakukan dengan bukti yang jelas, terukur, dan kredibel secara ilmiah. Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur juga harus dilakukan dengan perencanaan yang terukur, tidak sembarangan, dan kredibel secara ilmiah. Jika tidak, potensi korupsi akan semakin meningkat, terutama di sektor infrastruktur yang sangat terkait dengan pengadaan barang dan jasa. Jika perencanaan hanya dijadikan sebagai pembenaran untuk “melaksanakan sebuah proyek”, maka Proyek Strategis Nasional akan kehilangan maknanya dan berubah menjadi Proyek Nasional yang tidak Strategis. Kita perlu mengambil pelajaran dari PSN Bandara Kertajati yang dibangun antara 2015-2018 dengan biaya mencapai Rp 2,6 triliun. Bandara ini diproyeksikan untuk melayani antara 5,6 juta hingga 12 juta penumpang per tahun hingga 2024, dan diperkirakan akan mencapai 29,3 juta penumpang per tahun pada 2032 (Kemenhub, 2023). Namun, kenyataannya sangat menyedihkan, bandara ini masih sepi dan bahkan tidak mencapai target penumpang. Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya jumlah penumpang adalah aksesibilitas ke Bandara Kertajati. Selain itu, respons publik di media sosial menunjukkan bahwa jika diberikan pilihan antara Bandara Soekarno Hatta dan Bandara Kertajati, masyarakat cenderung memilih Bandara Soekarno Hatta. Hal ini disebabkan oleh jumlah dan frekuensi penerbangan yang lebih tinggi, kemudahan akses transportasi publik, serta beragam opsi yang lebih menarik bagi masyarakat. Dari contoh Proyek Strategis Nasional (PSN) ini, terlihat jelas bahwa pemerintah pada waktu itu melakukan pembangunan tanpa perencanaan yang matang dan mengabaikan berbagai aspek penting. Ini menunjukkan bahwa fokusnya hanya pada pencapaian kuantitatif, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang. Alih-alih mengembangkan infrastruktur pendukung untuk Bandara Kertajati, pemerintah malah berencana mengubah fungsi bandara tersebut menjadi pusat perawatan dan perbaikan pesawat atau Maintenance, Repair and Overhaul (MRO), yang berakibat pada penurunan target proyeksi. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah logis sebuah proyek yang pernah mendapatkan status PSN dan menghabiskan biaya Rp 2,6 triliun, hanya berakhir sebagai bengkel pesawat? Bandara Kertajati memberikan pelajaran pahit bahwa proyek sebesar apapun, jika tidak dikelola dengan transparan dan akuntabel, akan meninggalkan bangunan tanpa fungsi yang jelas dan mengakibatkan pemborosan uang rakyat. Dari temuan PPATK, muncul pertanyaan apakah pembangunan infrastruktur besar-besaran benar-benar ditujukan untuk kepentingan publik, ataukah ada niat tersembunyi untuk memperkaya diri sendiri? Ironi ini tidak boleh diabaikan. Jika pola-pola korupsi seperti ini dibiarkan berlanjut, maka pembangunan tidak lagi menjadi sarana kemajuan, melainkan alat legal untuk melakukan perampokan. Masalah Bandara Kertajati ini mengungkapkan bagaimana Proyek Strategis Nasional (PSN) dikurasi, ditentukan, dan diputuskan secara mutlak oleh presiden. Mekanisme ini mengurangi partisipasi publik dalam menentukan kebutuhan infrastruktur menjadi sangat minim, bahkan hampir hanya bersifat formalitas. Tidak ada diskusi publik yang berarti, dan tidak ada penilaian kritis yang terlembagakan sejak tahap perencanaan. Ironisnya, kekuasaan eksekutif yang absolut dalam menentukan PSN didukung oleh mekanisme regulasi yang memperkuat dominasi pemerintah. Sebagai contoh, Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Permenko) Nomor 7 Tahun 2023, yang telah beberapa kali merevisi daftar PSN. Sejalan dengan penelitian Agung Wardana dan Dzaki Aribawa Darmawardana, regulasi PSN menunjukkan karakter yang berorientasi pada eksekutif karena tidak dihasilkan dari peraturan delegasi atau peraturan pelaksana yang didasarkan pada UU dan melalui proses deliberatif bersama parlemen, apalagi partisipasi publik yang lebih luas. Fenomena ini menunjukkan betapa fleksibelnya daftar proyek strategis sesuai dengan kehendak politik pemerintah. Akibatnya, publik sering kali hanya mengetahui fakta-fakta pembangunan setelah proyek dimulai atau setelah peraturan tersebut diterbitkan. Di masa depan, di era Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, diharapkan PSN dapat lebih transparan dan kredibel. Mekanisme check and balance harus diperkuat, baik dari lembaga legislatif seperti DPR maupun dari masyarakat sipil. Setiap rencana pembangunan harus dapat diperdebatkan, diuji rasionalitasnya, serta dikritisi dengan data dan perspektif alternatif. Pada akhirnya, pembangunan infrastruktur seharusnya menjadi alat untuk mewujudkan keadilan sosial, bukan sekadar instrumen politik atau ajang bagi segelintir pihak untuk meraih keuntungan.