Perusahaan tambang, PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO), terus mengembangkan diversifikasi bisnis non-batubara untuk menyeimbangkan pendapatan perusahaan. Emiten yang terafiliasi dengan Garibaldi 'Boy' Thohir ini menargetkan 50% dari total pendapatan disumbang oleh bisnis non-batubara pada tahun 2030 mendatang. Kepala Komunikasi Perusahaan Adaro Energy Indonesia (ADRO), Febriati Nadira, menyatakan bahwa dalam peralihan menuju energi hijau, Adaro tetap berkomitmen untuk memenuhi kebutuhan energi saat ini sambil terus mempersiapkan transisi menuju operasi yang lebih berkelanjutan. Kami memastikan bahwa operasional dapat berjalan dengan baik dengan fokus pada keunggulan operasional dan efisiensi biaya, sehingga menghasilkan margin dan arus kas yang sehat," ujar Febriati kepada Kontan, Kamis (4/7). Menurut Febriati, prospek bisnis energi hijau ke depan sangat menjanjikan, namun investasi di bisnis hijau membutuhkan waktu dan proses yang tidak singkat. "Pada tahun 2030, harapannya 50% dari total pendapatan Adaro berasal dari bisnis non batubara termal, sesuai dengan komitmen kami dalam pernyataan NZE yang kami publikasikan pada tahun 2023," kata Febriati. Febriati menyatakan bahwa target ini akan tercapai dengan meningkatkan bisnis di bidang-bidang yang mendukung ekosistem ekonomi hijau di Indonesia, seperti pembangunan smelter aluminium, perluasan pasar batubara metalurgi, eksplorasi peluang dalam berbagai produk mineral hijau, dan pengembangan bisnis energi terbarukan. Jika berhasil, menurut Febriati, hal ini akan memungkinkan ADRO untuk mempercepat proses transformasi bisnis melalui inisiatif ramah lingkungan dalam jangka panjang, termasuk hilirisasi pengolahan mineral sejalan dengan rencana pemerintah RI. Sejak tahun 2022, Adaro telah mulai melakukan pengembangan bisnis secara berkelanjutan dengan bertransformasi dari 8 pilar menjadi 3 pilar bisnis; Adaro Energy, Adaro Minerals, dan Adaro Green. Perseroan juga telah mulai menjalankan proyek bisnis nonbatubara. Di tahun 2018, ADRO telah berhasil membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sistem rooftop atau atap dengan kapasitas 130 kWp di Kelanis, Kalimantan Tengah, untuk memenuhi kebutuhan listrik di area tambang Adaro. Febriati menyatakan, "Setelah sukses dalam pembangunan dan pengoperasian PLTS atap 130 kWp, kami melakukan pengembangan dengan menambahkan kapasitas 468 kWp PLTS dengan sistem terapung (floating)." Adaro juga mendukung inisiatif hilirisasi pemerintah dalam industri hijau dengan membangun aluminium smelter di Kawasan Industri Hijau Indonesia yang terbesar di dunia. Hingga saat ini, konstruksi smelter aluminium dan infrastruktur terkait berjalan sesuai rencana dan perseroan menargetkan untuk menyelesaikan tahap I sebesar 500.000 ton per tahun pada tahun 2025. Selanjutnya, Pilar Adaro Green dari PT Adaro Clean Energy Indonesia telah menandatangani nota kesepahaman untuk pengembangan energi terbarukan (EBT) dan rantai pasok Solar Photovoltaic (PV) serta Sistem Penyimpanan Energi Baterai (SPEB) di Indonesia dengan beberapa pabrikan manufaktur PV dan baterai (OEM/Original Equipment Manufacturer). Rencananya, PLTA Mentarang Induk dengan kapasitas 1375 MW akan mulai beroperasi pada tahun 2030 dan akan menyediakan energi hijau untuk kawasan industri hijau di Kalimantan Utara. "Proses konstruksi pembangkit listrik tenaga air yang sedang kami lakukan berjalan lancar," ujar Febriati. Terakhir, Adaro bersama Total Eren dan PJBI telah menandatangani perjanjian jual beli listrik untuk proyek PLTB Tanah Laut berkapasitas 70 MW yang dilengkapi dengan sistem penyimpanan energi baterai sebesar 10 MW / 10 MWh di Tanah Laut, Kalimantan Selatan dengan PT PLN Persero (PLN) untuk mendukung program Pemerintah dalam mencapai target bauran sumber Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia. Estimasi Commercial Operation Date (COD) PLTB Tanah Laut di tahun 2025.