Dampak Efisiensi Anggaran 2025 Terhadap Industri Pariwisata

Selasa, 15 Apr 2025

Kebijakan pemerintah yang berfokus pada efisiensi anggaran pada tahun 2025 bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan keuangan negara, namun hal ini berpotensi memberikan dampak besar terhadap sektor pariwisata. Pemotongan anggaran Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) lebih dari 40%—meninggalkan sekitar Rp884,9 miliar dari total anggaran awal sebesar Rp1,49 triliun—telah menimbulkan ketegangan serius dan menjadi sinyal peringatan bagi sektor yang selama ini dianggap sebagai salah satu pilar utama dalam pemulihan dan diversifikasi ekonomi nasional.

Di tengah ketidakpastian ekonomi global dan tekanan inflasi yang masih ada, langkah penghematan ini—yang secara logis bertujuan untuk menjaga stabilitas dan kesehatan fiskal negara (Kemenkeu, 2025)—berisiko menjadi langkah mundur yang signifikan. Rasionalitas fiskal makro tampak bertentangan dengan urgensi strategis di sektor ini.

Sementara itu, industri pariwisata global saat ini bergerak dengan cepat dan sangat kompetitif. Negara-negara tetangga seperti Thailand telah melonggarkan kebijakan visa dan menginvestasikan dana besar untuk kampanye global, sedangkan Vietnam secara agresif membangun infrastruktur dan mempromosikan destinasi alternatif (UNWTO, 2025). Mereka aktif berusaha merebut kembali pangsa pasar wisatawan internasional yang mulai pulih setelah pandemi. Momentum kebangkitan minat perjalanan global ini merupakan kesempatan yang hanya terbuka untuk waktu yang singkat. Dalam kondisi kritis seperti ini, pemotongan anggaran yang drastis dapat mengakibatkan hilangnya momentum dan pangsa pasar secara permanen.

Pemangkasan anggaran tersebut mengurangi kemampuan Kemenparekraf untuk melakukan promosi global yang luas dan terarah, mengembangkan destinasi prioritas, serta meningkatkan standar kualitas sumber daya manusia di sektor pariwisata (Kemenparekraf, 2025). Meskipun ada tekanan fiskal yang nyata, penting untuk memprioritaskan dan melindungi anggaran untuk sektor strategis seperti pariwisata. Pariwisata seharusnya tidak dipandang sebagai pos pengeluaran konsumtif atau seremonial yang mudah untuk dikorbankan.

Setiap rupiah yang dibelanjakan wisatawan berdampak pada rantai pasok yang panjang: dari petani dan nelayan penyedia bahan baku, pengrajin suvenir, penyedia jasa transportasi, hingga pekerja hotel dan pemandu wisata. Lebih jauh, pariwisata juga merupakan mesin penghasil devisa penting yang menopang neraca pembayaran (PDB Pariwisata, 2025) serta instrumen soft power dalam membangun citra bangsa. Memangkas anggarannya dengan logika linier seolah setara dengan pos operasional rutin lainnya sama saja dengan mengabaikan peran vitalnya dalam diversifikasi ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan daya saing nasional di tengah ketidakpastian ekonomi global.

Indonesia, dengan kekayaan alam dan budaya yang luar biasa, sejatinya memiliki peluang emas menjadikan pariwisata sebagai pilar pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Namun kebijakan pemangkasan anggaran secara drastis ini justru mengancam realisasi potensi tersebut. Estimasi menunjukkan potensi kerugian pendapatan industri perhotelan dan restoran hingga puluhan triliun rupiah akibat hilangnya belanja meeting, incentive, convention, and exhibition (MICE) pemerintah (PHRI, 2025). Ini bukan sekadar statistik, tetapi ancaman nyata bagi kelangsungan bisnis ribuan pelaku usaha dan puluhan ribu pekerja, terutama di daerah yang bergantung pada aktivitas pemerintah untuk mengisi tingkat hunian di luar musim liburan.

Lebih jauh, pembangunan infrastruktur penunjang pariwisata—akses jalan ke destinasi terpencil, peningkatan kapasitas bandara internasional, jaringan internet, serta sistem pengelolaan sampah dan sanitasi—terancam mandek (Kemenparekraf, 2025). Hambatan struktural ini membatasi pengembangan produk wisata baru, menurunkan kualitas pengalaman wisatawan, dan akhirnya melemahkan daya saing destinasi Indonesia.

Diskursus mengenai efisiensi anggaran selama ini kerap terjebak dalam asumsi simplistik bahwa efisiensi berarti pemotongan merata tanpa mempertimbangkan dampak strategis sektoral. Narasi bahwa keterbatasan dana akan memicu inovasi dan kolaborasi juga terdengar utopis jika tidak dibarengi investasi awal yang memadai. Inovasi butuh ruang eksperimen, dan kolaborasi butuh sumber daya untuk koordinasi serta implementasi.

Kursus mengenai efisiensi anggaran sering kali terjebak dalam pandangan sederhana yang menganggap efisiensi sebagai pemotongan anggaran secara merata, tanpa mempertimbangkan dampak strategis di setiap sektor. Anggapan bahwa keterbatasan dana dapat mendorong inovasi dan kolaborasi terdengar idealis jika tidak didukung oleh investasi awal yang cukup. Inovasi memerlukan ruang untuk bereksperimen, sementara kolaborasi membutuhkan sumber daya untuk koordinasi dan pelaksanaan.

Efisiensi yang sesungguhnya seharusnya fokus pada pengurangan pemborosan dalam birokrasi dan program-program yang tumpang tindih dengan dampak yang minimal, bukan mengorbankan program-program strategis. Akuntabilitas dan tata kelola yang baik merupakan syarat mutlak—bukan alasan untuk melakukan pemangkasan yang dapat mengancam fungsi utama sektor.

Oleh karena itu, anggaran yang tersedia harus diprioritaskan untuk program-program yang memiliki dampak ekonomi tinggi, seperti promosi digital yang ditargetkan kepada segmen pengeluaran tinggi, pengembangan atraksi unggulan di Destinasi Super Prioritas, serta dukungan konkret antar kementerian. Kolaborasi lintas sektor—misalnya dengan Kementerian PUPR untuk infrastruktur dasar, Kemenkominfo untuk konektivitas digital, dan pemerintah daerah—harus diwujudkan dalam tindakan nyata, bukan hanya dalam bentuk nota kesepahaman.

Lebih jauh lagi, pemerintah perlu mengeksplorasi skema pendanaan di luar APBN, seperti

optimalisasi Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik untuk Pariwisata,

skema Public Private Partnership (KPBU) yang menarik,

pinjaman lunak dari lembaga pembangunan internasional,

penerapan pajak pariwisata untuk reinvestasi,

dan pembentukan dana abadi untuk pariwisata.

Jangan biarkan kebijakan efisiensi yang berniat baik ini menjadi bumerang yang justru menghambat momentum kebangkitan dan potensi sektor pariwisata nasional. Keputusan yang diambil hari ini akan menentukan apakah pariwisata Indonesia dapat bersaing dan memberikan kontribusi yang optimal, atau justru tertinggal dan kehilangan relevansi di kancah global.

Saat ini, penting untuk menekankan kebijakan strategis yang lebih mendalam, bukan hanya perhitungan fiskal yang bersifat sementara.


Tag:



Berikan komentar
Komentar menjadi tanggung-jawab Anda sesuai UU ITE.