Jaringan kampanye global, Greenpeace, telah menemukan aktivitas pertambangan di beberapa pulau Raja Ampat, seperti Gag, Kawe, dan Manuran. Ketiga pulau ini tergolong kecil dan seharusnya tidak boleh ditambang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil. Eksploitasi nikel di ketiga pulau tersebut telah merusak lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami yang khas di daerah tersebut. Beberapa dokumentasi juga menunjukkan adanya limpasan tanah yang menyebabkan sedimentasi di pesisir, yang berpotensi merusak terumbu karang dan ekosistem perairan di Raja Ampat, Papua Barat. Juru Kampanye Greenpeace Indonesia, Rio Rompas, menyatakan bahwa penambangan nikel di wilayah tersebut dapat memberikan dampak negatif, baik terhadap lingkungan maupun sektor pariwisata. Jumlah kunjungan wisatawan berpotensi menurun karena keindahan laut dan lokasi menyelam akan terganggu. "Lebih jauh lagi, hal ini juga akan berdampak pada mata pencaharian masyarakat lokal yang bergantung pada pariwisata dan laut sebagai sumber penghidupan," kata Rio kepada Katadata.co.id, Rabu (4/6). Dari perspektif lingkungan, dampak yang telah terjadi meliputi deforestasi, sedimentasi di pesisir pantai, kerusakan terumbu karang, dan kekeruhan air laut di sekitarnya. Selain Pulau Gag, Kawe, dan Manuran, pulau kecil lainnya di Raja Ampat yang terancam oleh tambang nikel adalah Pulau Batang Pele dan Manyaifun. Kedua pulau yang berdekatan ini terletak sekitar 30 kilometer dari Piaynemo, gugusan bukit karst yang gambarnya terpampang di uang pecahan Rp 100 ribu. Perairan Raja Ampat adalah rumah bagi 75% spesies terumbu karang di dunia dan memiliki lebih dari 2.500 spesies ikan. Di daratannya, terdapat 47 spesies mamalia dan 274 spesies burung. UNESCO juga telah menetapkan kawasan Raja Ampat sebagai geopark global. Koordinator Jaringan Advokasi Tambang, Melky Nahar, menyatakan bahwa Pulau Gag adalah contoh nyata dari kerusakan sistemik yang disebabkan oleh kebijakan pertambangan yang diterapkan dalam ruang tertutup, elitis, dan menguntungkan segelintir orang. "Berbagai perubahan tata ruang, pelepasan kawasan konservasi, hingga penerbitan izin tambang dilakukan tanpa melibatkan masyarakat adat dan publik secara luas," ujarnya. Penambangan nikel di Pulau Gag telah menimbulkan tujuh dampak bagi lingkungan sekitar, yang meliputi: Sedimentasi Laut yang menyebabkan air laut menjadi keruh akibat lumpur dari tambang. Sedimen ini telah menutupi dasar laut, merusak lamun dan terumbu karang. Kematian Terumbu Karang, di mana karang yang tertutup lumpur mengalami pemutihan, mengancam habitat ribuan spesies laut dan merusak daya tarik wisata. Pencemaran Lingkungan yang berpotensi menyebabkan kontaminasi logam berat ke laut dan tanah, serta mempengaruhi kesehatan masyarakat dan biota. Kerusakan Lamun dan Mangrove, di mana lamun mati akibat tertutup sedimen dan hilangnya hutan bakau karena konversi lahan tambang. Konflik Sosial dan Kehilangan Hak Adat, di mana penambangan berisiko menyingkirkan masyarakat adat dari wilayah kelola tradisional mereka, sekaligus mengancam budaya dan nilai lokal. Hancurnya Potensi Ekowisata, di mana kerusakan keindahan laut dapat berdampak langsung pada sektor pariwisata Raja Ampat. Hal ini juga berpotensi menyebabkan masyarakat kehilangan sumber pendapatan alternatif yang berkelanjutan. Vulnerabilitas Pulau Kecil, di mana penambangan nikel membuat pulau kecil tidak memiliki ruang untuk pemulihan. Kerusakan pada pulau kecil dapat memiliki dampak yang total dan jangka panjang.