Aksi Protes Terhadap Dampak Bencana Nikel Mengakibatkan Aktivis Perempuan Terjerat Hukum

Sabtu, 07 Sep 2024

Protes terhadap kegiatan pertambangan dan kawasan industri nikel berujung pada tindakan hukum terhadap aktivis perempuan, Cristina Rumalatu. Aktivis lingkungan ini dipanggil oleh Badan Reserse Kriminal Polri, Direktorat Tindak Pidana Siber, pada tanggal 27 Agustus lalu dengan tuduhan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Tindakan kriminalisasi ini muncul setelah Cristina dan Thomas Madilis melakukan aksi di depan Kantor Pusat PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) pada tanggal 1 Agustus lalu.

Mereka berpartisipasi dalam aksi bersama koalisi organisasi masyarakat sipil, termasuk Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Enter Nusantara, Front Mahasiswa Nasional, dan Serikat Pemuda Nusa Tenggara Timur, untuk menyoroti dampak lingkungan dari operasi tambang, terutama terkait banjir di Halmahera.

Aksi ini dipicu oleh banjir bandang yang melanda Halmahera Tengah dan Halmahera Timur pada tanggal 21-24 Juli 2024, dengan ketinggian air mencapai tiga meter. Banjir tersebut mengakibatkan isolasi dan lumpuhnya sejumlah desa di sekitar area operasi IWIP, memaksa sekitar 1.700 warga untuk mengungsi.

Banjir juga melanda Halmahera Timur, merendam 12 desa dan menyebabkan longsor di beberapa titik jalan. Di Halmahera Tengah, longsor memutus akses jalan Trans Pulau Halmahera yang menghubungkan Payahe-Oba di Kota Tidore Kepulauan dengan Weda, Halmahera Tengah.

Banjir yang terjadi secara berulang kali ini diduga disebabkan oleh penggundulan hutan yang masif. Menurut data dari Global Forest Watch, Halmahera Tengah telah kehilangan 27,9 ribu hektar tutupan pohon antara tahun 2021 hingga 2023, yang setara dengan penurunan sebesar 13% sejak tahun 2000. Kehilangan tutupan pohon ini berdampak negatif pada degradasi sumber daya air tawar dan meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi. Situasi ini semakin memperburuk kondisi lingkungan.

"Kami di sini menuntut pertanggungjawaban IWIP atas penderitaan yang dialami oleh masyarakat Maluku Utara," tegas para pengunjuk rasa.

Dalam aksi di depan Kantor IWIP, Letnan Jenderal (Purn.) Suaidi Marasabessy, yang juga berkantor di gedung yang sama dengan IWIP, menanggapi aksi tersebut dengan menyatakan bahwa masalah ini telah dikoordinasikan dengan bupati.

Pernyataan ini justru memicu kemarahan massa, yang kemudian meneriaki dan menyebut pensiunan jenderal tersebut tidak berguna.

Beberapa hari setelah aksi, tepatnya pada 4 Agustus 2024, Ali Fanser Marasabessy, Ketua Bravo 5, melalui unggahan di akun TikToknya, menyatakan ketidakpuasan terhadap pernyataan Suaidi Marasabessy.

Dia menuntut agar Cristina dan Thomas Madilis meminta maaf dalam waktu 2×24 jam.

Beberapa hari kemudian, Christina menerima surat dari pihak kepolisian.

Tim hukum yang terdiri dari YLBHI, Trend Asia, Jatam, ICJR, dan Walhi telah menyusun opini hukum terkait tuduhan tersebut. Berbagai organisasi masyarakat sipil dan lembaga bantuan hukum juga memberikan dukungan kepada Cristina. Di antara mereka terdapat Yayasan Auriga Nusantara, Greenpeace, Satya Bumi, Forest Watch Indonesia (FWI), IFM, AEER, Amnesty International, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), serta Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) Jentera.

Dukungan juga datang dari Transparency International Indonesia (TII), Indonesia Corruption Watch (ICW), LBH Pers, Save Melanesia, SASI, HIPMALUT, Solidaritas Perempuan, Enter Nusantara, SafeNET, dan Purple Code. Selain itu, terdapat juga Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), PPMAN, Pilnet, FKMM, PGI, Jaring.id, KPA, Lokataru, PHI, Econusa, Save Sagea, Save O Hangana Manyawa, serta Simpul Jatam Malut.

“Demonstrasi ini merupakan respons terhadap banjir yang berlangsung selama beberapa hari di Halmahera dan laporan terbaru dari Jatam mengenai kerusakan lingkungan akibat operasi IWIP,” ungkap Al Farhat Kasman dari Divisi Kampanye Jatam.

Sebelumnya, Jatam telah merilis laporan berjudul “Penaklukan dan Perampokan Halmahera: IWIP sebagai Etalase Kejahatan Strategis Nasional Negara-Korporasi.”

Laporan tersebut menyoroti kerentanan Maluku Utara sebagai wilayah kepulauan yang menghadapi bencana hidrometeorologi yang diperburuk oleh aktivitas penambangan nikel.

Jatam juga menegaskan bahwa operasi penambangan di Halmahera tidak hanya merusak lingkungan dan mencemari sumber pangan serta air bagi masyarakat, tetapi juga mengancam kehidupan mereka. Termasuk di dalamnya adalah ancaman kriminalisasi bagi mereka yang berjuang mempertahankan hak-haknya.

Laporan ini mencatat bahwa masyarakat Halmahera dan pekerja tambang sering mengalami kekerasan fisik dan psikis, dengan sekitar 26 pekerja dilaporkan tewas sejak IWIP dan WBN mulai beroperasi pada tahun 2018.

Muhamad Jamil, Kepala Divisi Hukum Jatam, mengungkapkan bahwa ancaman dan intimidasi yang ditujukan untuk mengkriminalisasi dua mahasiswa dari Maluku merupakan suatu bentuk upaya untuk membungkam partisipasi publik, yang dikenal sebagai strategic lawsuit against public participation (SLAPP). 

Menurut Jamil, tindakan tersebut bertentangan dengan Pasal 66 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) serta Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, yang menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. 

Koalisi Masyarakat Sipil mendesak pemerintah pusat dan daerah, serta perusahaan tambang nikel, untuk segera bertanggung jawab atas bencana banjir dan kerusakan lingkungan yang terjadi. Pemerintah diharapkan tidak hanya memberikan bantuan sosial kepada masyarakat yang terdampak, tetapi juga menghentikan segala bentuk ekstraksi yang merusak lingkungan dan sumber kehidupan masyarakat Halmahera.

Pada awal Agustus lalu, Climate Rights International (CRI) meminta aparat untuk menghentikan proses hukum terhadap mahasiswa yang melakukan aksi di kantor pusat IWIP, yaitu Christina Rumahlatu dan Thomas Madilis. 

“Para pendukung IWIP seharusnya tidak bereaksi berlebihan terhadap protes dan berusaha mengkriminalisasi individu yang merasa marah atas kerusakan yang ditimbulkan oleh industri nikel terhadap tanah dan air mereka,” ungkap Brad Adams, Direktur Eksekutif Climate Rights International, dalam siaran pers mereka. 

Perusahaan seharusnya berkomitmen untuk mengatasi kerusakan lingkungan, termasuk mencegah banjir dan membersihkan sungai serta daerah pesisir, agar masyarakat dapat hidup dalam lingkungan yang aman dan sehat.


Tag:



Berikan komentar
Komentar menjadi tanggung-jawab Anda sesuai UU ITE.